Pages

Monday, September 9, 2019

Sentimen Turunnya Suku Bunga AS dan Eropa Kompak Angkat Pasar

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan kompak menguat di awal pekan ini, Senin (9/9/2019), dan meskipun bukan karena tanggal cantiknya nyatanya pasar saham, pasar obligasi, dan rupiah di pasar valas berhasil ditutup di zona hijau bahkan menjadi macan Asia untuk sehari.

Sentimen penyebab utama dari penguatan tersebut adalah ekspektasi turunnya suku bunga acuan The Fed Fund Rate di Amerika Serikat (AS) dan turunnya suku bunga simpanan (deposit rate) Bank Central Eropa (ECB) yang akan diputus pada Kamis pekan ini.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang dibuka menguat sempat merasakan zona koreksi sesaat setelah pasar dibuka 17 menit. Selanjutnya, investor dan trader saham pantas berjaya karena hingga penutupan pasar indeks acuan tersebut melanggeng dengan apresiasi sebesar 0,31% ke level 6.328,28 pada sesi I.


Selepas jeda makan siang, IHSG melaju tanpa henti di teritori positif hingga ditutup menguat 0,27% ke level 6.326,21 pada 16:15. Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendongkrak kinerja IHSG hari ini di antaranya: PT United Tractors Tbk/UNTR (+8%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (+1,43%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (+1,38%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (+5,51%), dan PT Adaro Energy Tbk/ADRO (+5,99%).

Penguatan dialami enam indeks sektoral, berturut-turut dari mulai sektor tambang (1,65%), infrastruktur (1,16%), perdagangan (1,08%), barang konsumsi (0,91%), industri dasar (0,63%), dan agribisnis (0,19%). Sebaliknya, koreksi dialami sektor aneka industri (-1,06%), keuangan (-0,71%), dan properti (-0,12%). Apresiasi yang dibukukan IHSG pada hari ini menandai penguatan selama 4 hari beruntun.


Menguatnya IHSG ternyata juga ditarik nada sentimen positif yang juga berhembus pada mayoritas bursa utama kawasan Asia dan mampu menguat terlepas dari loyonya data neraca perdagangan internasional China: indeks Nikkei naik 0,56%, indeks Shanghai menguat 0,84%, dan indeks Kospi bertambah 0,52%. 

Kemarin (8/9/2019), ekspor China periode Agustus 2019 diumumkan minus 1% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh lebih buruk dibandingkan konsensus yang memperkirakan masih adanya pertumbuhan 2%, dilansir dari Trading Economics. Sementara itu, impor juga jatuh 5,6% YoY, menandai penurunan selama 4 bulan beruntun meskipun lebih baik dari prediksi pasar -6%.

Untuk diketahui, People's Bank of China (PBOC) selaku bank sentral China sempat terus-menerus melemahkan nilai tukar yuan pada bulan lalu, yakni dengan mematok nilai tengahnya di level yang lebih rendah. Selama ini, PBOC memang punya wewenang untuk menentukan nilai tengah dari yuan setiap harinya.

Nilai tukar yuan di pasar dalam negeri (onshore) kemudian hanya diperbolehkan bergerak dalam rentang 2% (baik itu menguat maupun melemah) dari nilai tengah tersebut, sehingga pergerakannya tak murni dikontrol oleh mekanisme pasar.

Implikasinya, ketika nilai tengah ditetapkan di level yang lebih lemah, yuan akan cenderung melemah di pasar onshore. Diharapkan, pelemahan yuan tersebut akan mendongkrak kinerja ekspor Negeri Panda, namun kenyataannya tidak semudah itu.

Aksi beli dilakukan di bursa saham Benua Kuning seiring dengan rencana gelaran negosiasi dagang AS-China secara tatap muka. Pada pekan lalu, Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa delegasi kedua negara melakukan perbincangan via sambungan telepon.

Perbincangan via sambungan telepon ini melibatkan berbagai tokoh penting seperti Wakil Perdana Menteri China Liu He, Gubernur Bank Sentral China Yi Gang, Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin.

Hasilnya, kedua belah pihak menyepakati gelaran negosiasi dagang secara tatap muka pada awal bulan depan, dilansir dari CNBC International. AS dan China akan menggelar negosiasi tersebut di Washington, D.C. yang merupakan ibu kota dari AS.

Menurut pernyataan resmi dari Kementerian Perdagangan China, kedua belah pihak akan menggelar konsultasi pada pertengahan bulan ini sebagai bagian dari persiapan negosiasi tatap muka di awal bulan depan.

Seperti yang diketahui, hubungan AS dan China kembali memanas pasca pada tanggal 1 September AS resmi memberlakukan bea masuk baru sebesar 15% yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 112 miliar. Pakaian, sepatu, hingga kamera menjadi bagian dari daftar produk yang diincar AS pada kesempatan ini.

Di sisi lain, aksi balasan (retaliasi) dari China berlaku selepas AS bersikeras menerapkan bea masuk baru terhadap Beijing. China mengenakan bea masuk baru yang berkisar antara 5%-10% bagi sebagian produk yang masuk dalam daftar target senilai US$ 75 miliar. Daging babi, daging sapi, dan berbagai produk pertanian lainnya tercatat masuk dalam daftar barang yang menjadi lebih mahal per tanggal 1 September kemarin.

Untuk diketahui, AS masih akan mengenakan bea masuk baru terhadap berbagai produk impor China lainnya pada tanggal 15 Desember. Jika ditotal, nilai barang yang terdampak dari kebijakan AS pada hari ini dan tanggal 15 Desember nanti adalah US$ 300 miliar, dilansir dari CNBC International.

Sementara itu, sisa barang dalam daftar target senilai US$ 75 miliar yang hingga kini belum dikenakan bea masuk baru oleh China, akan mulai terdampak pada tanggal 15 Desember.

Di pasar obligasi, penguatan juga terjadi di tiga dari empat seri acuan utama yaitu seri acuan 5 tahun, 10 tahun, dan 15 tahun, dengan rerata penurunan tingkat imbal hasil (yield) 0,85 bps berdasarkan catatan Refinitiv. Seri acuan lain yaitu FR0079 bertenor 20 tahun masih stagnan hingga penutupan semalam.

Angka yield wajar keluaran PT Penilai Harga Efek Indonesia justru mencatatkan adanya penguatan lumayan besar di mana rerata penurunan yield seri acuan terjadi 5,48 bps. Harga dan yield saling bertolak belakang di pasar sekunder, di mana yield menjadi acuan transaksi perdagangan.

Kemarin, goyangan rupiah menunjukkan kekuatannya di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), sekaligus melanjutkan performa apik sejak pekan lalu. Layaknya pasar saham, mata Uang Garuda sudah menguat empat hari berturut-turut hingga mencapai level terkuat sejak 31 Juli.

Rupiah langsung tancap gas begitu perdagangan dibuka, menguat 0,07% ke level 14.080/US$. Dalam perjalanannya, rupiah tidak sekalipun menyentuh zona merah, meski gasnya sempat mereda ke level 14.090/US$.

Selepas tengah hari, penguatan rupiah sudah tak terbendung lagi hingga menjadikannya mata uang terbaik sekaligus Macan Asia. Bahkan sebelum penutupan perdagangan rupiah sempat menyentuh 14.020/US$, 'tinggal sorong' menuju level "keramat" 14.000/US$.


BERSAMBUNG KE HAL 2
(irv)

Let's block ads! (Why?)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2LHz2uS
via IFTTT

No comments:

Post a Comment