Banyak kontrak gas yang akan berakhir pada dua tiga tahun mendatang, dan belum ada kepastian perpanjangan bagi pabrik-pabrik pupuk.
Kondisi ini disampaikan langsung oleh Direktur Utama PT Pupuk Indonesia Holding Company Aas Asikin Idat di Komisi VII DPR RI. Menurutnya pupuk memerlukan pasokan gas jangka panjang.
"Sementara ini 2-3 tahun kami harapkan bisa jangka panjang. Mayoritas gas berakhir di 2021-2022, dan banyak yang belum ada kepastian gasnya termasuk alokasinya belum kami terima," ujar Asikin, saat rapat dengar pendapat di DPR Kamis (05/12/2019).
Tidak hanya kepastian pasokan gas, masalah lain yang dihadapi industri pupuk adalah harga gas yang dinilai masih terlalu tinggi. Padahal, gas bumi adalah bahan baku utama untuk produksi pupuk urea dengan komposisi kurang lebih 70% dari total biaya produksi.
"Jadi gas dalam biaya produksi itu menempati 70% sehingga harga gas ini sangat berpengaruh pada harga pokok dari pupuk sendiri," imbuhnya.
Lebih lanjut dirinya menerangkan dan memberikan contoh, harga rata-rata gas yang dikenakan untuk pupuk dalam negeri ada di kisaran US$ 5,8/MMBTU. Sementara, harga pesaing bisa di rata-rata US$ 3,95 per MMBTU.
Salah satu contoh menurut Asikin adalah Pupuk Iskandar Muda di mana terdapat dua pabrik dengan kebutuhan gas sampai 110 MMSCFD, tetapi baru punya alokasi kepastian gas 30 MMSCFD. "Jadi kurang 80 MMSCFC, sehingga dari dua pabrik baru bisa jalan kurang lebih 1 pabrik."
Tidak tinggal diam kondisi ini coba diakali dengan meneken perjanjian jual beli gas dengan Pertamina. Namun perjanjian tersebut belum juga efektif. "Jika tidak dijalankan maka mulai 2020 dua pabrik di Iskandar Muda ini tidak bisa jalan," sesalnya.
Sementara untuk Pusri Palembang, pasokan gas tidak ada masalah sampai 2023. Namun, alokasi untuk 2024 belum terjamin dan diperkirakan akan kurang. "Gasnya belum ada, mungkin 2024 kalau ini tidak dipenuhi pabrik di Palembang semua akan berhenti."
Anggota Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika menilai masalah pasokan dan permintaan gas industri pupuk ini sangat mengerikan. "Bukannya ngeri, tapi ngeri sekali. Kita tahu pupuk ini diperlukan bukan untuk orang kota tapi orang desa. Bukan cuma pabrik pupuknya yang dilihat tapi dampak perekonomian juga," katanya. (*) (hps/hps)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/361RlU6
via IFTTT
No comments:
Post a Comment