Angka realisasi tersebut tercatat tumbuh 13,21% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya (Januari-Juli 2018). Namun pertumbuhan itu melambat karena pada Januari-Juli 2018 pendapatan kepabeanan dan cukai mampu meningkat hingga 16,4% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Ditilik lebih dalam, pertumbuhan penerimaan kepabeanan dan cukai hanya disebabkan oleh pendapatan cukai. Realisasi cukai hingga akhir Juli telah mencapai Rp 82,62 triliun atau tumbuh sebesar 22,3% YoY. Pertumbuhan pendapatan cukai juga lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya yang hanya 14,22% YoY.
Sumber: Kementerian Keuangan
|
Sebagaimana yang diketahui, pendapatan cukai meliputi:
- Cukai Hasil Tembakau (CHT)
- Ethil Alkohol
- Minuman Mengandung Ethil Alkohol (MMEA)
- Pastik
- Denda Administrasi Cukai
- Cukai lainnya
Sementara untuk pos pendapatan kepabeanan, yaitu Bea Masuk (BM) dan Bea Keluar (BK), per akhir bulan Juli mengalami kontraksi atau tumbuh negatif masing-masing sebesar 3,4% dan 52,72%.
Realisasi penerimaan BM tercatat sebesar Rp 20,69 triliun yang mana sudah mencapai 53,18% dari target APBN. Sedangkan realisasi penerimaan BK hanya sebesar Rp 1,85 triliun atau 41,83% dari target APBN.
Hal itu banyak dipengaruhi oleh arus perdagangan internasional Indonesia yang lesu di tahun ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total nilai impor sepanjang Januari-Juli 2019 hanya sebesar US$97,68 miliar, yang mana turun 9% YoY. Sementara total nilai ekspor juga terkontraksi sebesar 8,02% YoY menjadi US$ 95,79 miliar.
Penurunan impor paling banyak terjadi pada jenis barang konsumsi, yaitu sebesar 10,22% YoY menjadi US$ 8,88 miliar. Adapun impor bahan baku dan barang modal juga terkontraksi masing-masing sebesar 9,55% Yoy dan 5,71% YoY. Besarnya kontraksi pada jenis barang konsumsi menjadi salah satu indikator juga bahwa tingkat konsumsi masyarakat Indonesia tengah mengalami tekanan.
Sumber: Badan Pusat Statistik
|
Bukti lain lesunya konsumsi masyarakat Indonesia saat ini adalah penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Negeri tumbuh negatif alias terkontraksi 4,68% YoY pada periode Januari-Juli 2019.
Pasalnya, kontraksi penerimaan PPN menjadi salah satu indikator bahwa ada tekanan pada tingkat konsumsi masyarakat. Hingga saat ini, perekonomian Indonesia sebagian besar (lebih dari 50%) masih disumbang oleh konsumsi rumah tangga.
Dari sisi lain, aktivitas ekspor Indonesia banyak dipengaruhi oleh kejatuhan harga-harga komoditas dan kondisi perekonomian global.
Seperti yang telah diketahui, harga batu bara, yang menjadi ekspor andalan RI masih terus berada dalam tren penurunan.
Secara rata-rata, Harga Batu Bara Acuan (HBA) periode Januari-Juli 2019 hanya sebesar US$ 85,56/ton, turun dari tahun sebelumnya yang mencapai US$ 97,66/ton.
Sedangkan harga batu bara acuan global, Newcastle, amblas hingga 26,71% sepanjang Januari-Juli 2019, berdasarkan data Refinitiv. Mengingat lebih dari 10% ekspor Indonesia adalah batu bara, maka tak heran apabila kinerja ekspor secara keseluruhan juga ikut tertekan.
Cukai Digenjot
Untuk menggenjot penerimaan kepabeanan dan cukai, pemerintah berencana untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau dan penambahan objek barang kena cukai di tahun 2020.
Pada tahun 2020, pendapatan cukai ditargetkan sebesar Rp179.289,7 miliar, terdiri atas Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar Rp171,9 triliun, dan sisanya ditergetkan diperoleh dari pendapatan cukai MMEA, cukai EA, denda administrasi cukai, dan cukai lainnya dengan total sebesar Rp7,38 triliun.
"Pendapatan cukai dalam RAPBN tahun 2020 tersebut naik 8,2 persen dibandingkan targetnya dalam outlook tahun 2019. Hal-hal yang menyebabkan naiknya target pendapatan cukai antara lain adanya penyesuaian tarif cukai hasil tembakau, dilanjutkannya program penertiban cukai berisiko tinggi, dan rencana penambahan barang kena cukai (BKC) baru berupa kemasan/ kantong plastik," seperti dikutip dari Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2020.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/dru)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2ZscwiK
via IFTTT
No comments:
Post a Comment