Pages

Thursday, August 29, 2019

China Berniat Damai Dengan AS, Yen "Gak" Seksi Lagi

Mata uang yen Jepang kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (29/8/19) kemarin. Munculnya harapan akan adanya pertemuan AS-China membuat permintaan akan aset aman atau safe haven seperti yen berkurang.

Pada pagi ini, Jumat (30/8/19) pukul 7:08 WIB, yen diperdagangkan di level 106,51/US$ atau stagnan dibandingkan penutupan perdagangan Kamis di pasar spot, melansir data Refinitiv. Pada Kamis kemarin, yen melemah 0,37%.

Mengutip Reuters, Kementerian Perdagangan China mengungkapkan saat ini Beijing dan Washington sedang membahas pertemuan tatap muka dalam waktu dekat. 


Gao Feng, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China, menyatakan kedua pihak harus menciptakan suasana yang kondusif jika ingin meraih hasil positif dalam perundingan tersebut. China sendiri, katanya, terus berusaha menghindari eskalasi dan bersedia untuk menyelesaikan perselisihan secara tenang. 

"Sejauh yang saya tahu, delegasi kedua negara terus melakukan komunikasi yang efektif. Kami berharap AS menunjukkan ketulusan dan aksi konkret," kata Gao.

Kabar tersebut disambut baik oleh pelaku pasar, walaupun damai dagang sepertinya masih jauh akan terjadi, tetapi setidaknya China tidak lagi berniat membalas kenaikan tarif impor AS, dan perang dagang tidak lagi tereskalasi.

Sejak awal bulan Agustus pelaku pasar dibuat cemas dengan eskalasi perang dagang AS-China. Hal tersebut bermula dari AS yang mengenakan tarif baru impor produk dari China. Total nilai produk yang akan dikenakan tarif impor sebesar US$ 300 miliar.

China kemudian membalas kebijakan AS dengan mendevaluasi nilai tukar yuan hingga ke level terendah lebih dari satu dekade terhadap dolar AS. Kebijakan tersebut membuat pelaku pasar cemas perang dagang akan juga mengarah ke perang mata uang.

China ditengarai sengaja mendevaluasi mata uangnya untuk mendapat keunggulan kompetitif di perdagangan international. Produk China menjadi lebih murah, sehingga efek tarif impor tinggi dari AS bisa diminimalisir.

Sikap AS kemudian melunak, dan menunda kenaikan tarif sebagian produk China, bahkan ada yang dibatalkan.

Tetapi secara tiba-tiba pada Jumat (23/8/19) lalu, China menaikkan tarif impor untuk produk AS.  Pemerintah China akan menaikkan tarif impor mulai dari 5% sampai 10% terhadap produk-produk dari Paman Sam senilai US$ 75 miliar, dan mulai berlaku pada 1 September dan 15 Desember. 

Tidak hanya itu, China kembali mengenakan tarif sebesar 25% terhadap mobil dari AS yang akan masuk ke China, dan untuk suku cadangnya akan dikenakan tarif sebesar 5%. Kebijakan ini sebelumnya dihentikan pada bulan April lalu, dan kini akan diberlakukan lagi mulai 15 Desember. 

Kejutan dari China tersebut membuat Presiden Trump geram. Tidak berselang lama ia mengumumkan melalui Twitter bahwa Negeri Paman Sam akan menaikan bea masuk dari 25% menjadi 30% bagi impor produk China senilai US$ 250 miliar. Selain itu, Trump juga akan mengeksekusi bea masuk baru bagi importasi produk-produk China senilai US$ 300 miliar dengan tarif 15%.

"Mulai 1 Oktober, impor produk China senilai US$ 250 miliar yang saat ini dikenai tarif 25% akan naik menjadi 30%. Sebagai tambahan, impor baru senilai US$ 300 miliar yang awalnya dikenakan tarif 10% dinaikkan menjadi 15% berlaku 1 September. Terima kasih atas perhatiannya!" demikian cuit Trump.

Hubungan kedua negara pun memanas sejak saat itu yang membuat pelaku pasar cemas, dan baru mereda Kamis kemarin setelah China mengungkapkan sedang membahas pertemuan dengan AS.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap)

Let's block ads! (Why?)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2MLS46r
via IFTTT

No comments:

Post a Comment