Karena alasan pembatasan konsumsi, kemasan rokok diwajibkan menampilkan informasi kesehatan dan peringatan kesehatan berupa gambar seram yang dimuat sebanyak 40% dari kemasan.
Pengusaha rokok juga bakal dipusingkan karena Kementerian Kesehatan mengusulkan agar gambar seram itu dinaikkan menjadi 90% dan tidak menutup kemungkinan akan menjadi kemasan polos pada tahun 2020-2024.
Kebijakan ini ternyata bisa menjadi slippery slope atau dapat meluas ke bidang usaha lain yang dianggap mengganggu kesehatan publik, yakni makanan. Sebagai contoh, produk makanan juga mempunyai kandungan yang dinilai dapat merugikan kesehatan publik seperti lemak, garam dan gula.
"Sumbangan pangan olahan pada diabetes itu kecil. Gula, garam, lemak itu dibutuhkan oleh tubuh. Indonesia itu mengalami double burden, punya masalah malnutrisi tapi di kota besar obesity. Garam untuk level tertentu, itu penting, begitu juga lemak," kata Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi), Rachmat Hidayat dalam sebuah diskusi, Jakarta, Rabu (2/10/2019).
Menurutnya, jika kemasan polos diterapkan pada kemasan, maka bisa berdampak terhadap konsumen dan produsen. Kemasan makanan menjadi bagian penting karena menggambarkan identitas produk.
"Ini kalau ini diseragamkan, konsumen yang jelas akan bingung. Kedua, konsumen akan kekurangan informasi. Nah itu, apa yang saya dapat dari label, kalau kemasannya sama semua? Saya kehilangan hak saya sebagai konsumen untuk tahu produk apa yang ingin saya cari," katanya mencontohkan.
Sementara dari sisi produsen, kemasan polos akan menghambat kreativitas dan inovasi produsen. Selain itu, para produsen juga akan sulit bersaing karena kemasan polos itu.
Dalam perdagangan internasional, produsen harus menyesuaikan kemasan produknya pada regulasi negara tujuan ekspor.
Beberapa negara seperti Australia, Ekuador, Chile, Thailand dan Afrika Selatan telah menerapkan aturan pembatasan merek dan kemasan. Di Thailand, otoritas di sana melarang penggunaan gambar kartun pada kemasan makanan yang mengandung gula.
Kasubdit Transparansi Kesesuaian Peraturan dan Fasilitasi Kementerian Perdagangan, Danang Prasta, mengatakan, dalam perjanjian WTO setiap negara berhak menerbitkan regulasi terutama untuk melindungi kesehatan publik atau lingkungan selama tidak bertujuan menghambat perdagangan.
"Indonesia bisa memanfaatkan keanggotaannya di WTO untuk mengamankan hak-hak Indonesia di negara tujuan ekspor. Hak ini menjadi penting karena merek Indonesia yang beredar di pasar internasional juga unsur utama dari nation branding dan berperan penting dalam meningkatkan ekspor," kata Danang.
(sef/sef)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2nYftXp
via IFTTT
No comments:
Post a Comment