Pages

Wednesday, October 2, 2019

Cukup Tangguh pada Q3, Begini Prospek Rupiah Q4

Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja rupiah terbilang cukup bagus di kuartal III-2019, meski harus melemah 0,46% secara point-to-point. Mata Uang Garuda bahkan memberikan perlawanan ketat terhadap greenback.

Rupiah mengawali kuartal III dengan apik, pada 15 Juli sudah mencatat penguatan 1,7% dan mencapai titik terkuat satu tahun di level Rp 13.885/US$.

Namun setelahnya rupiah berbalik melemah hingga ke Rp 14.350/US$ pada 6 Agustus. Kemudian rupiah sempat perkasa lagi dan menguat ke Rp 13.980/US$ pada pertengahan September. Kondisi dalam negeri yang kurang kondusif akibat serangkaian aksi demonstrasi dua pekan terakhir September membuat rupiah akhirnya takluk.

Ada dua penggerak utama dolar AS vs rupiah di kuartal III, yakni perang dagang AS-China dan kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dan Bank Indonesia (BI). Dua hal tersebut masih akan menjadi penggerak utama di kuartal IV tahun ini.

Hubungan AS-China pada periode Juli-September panas-dingin. Pada bulan Agustus lalu, China mengumumkan bahwa pihaknya akan membebankan bea masuk berkisar antara 5%-10% bagi produk impor asal AS senilai US$ 75 miliar.

Lebih lanjut, China juga mengumumkan pengenaan bea masuk senilai 25% terhadap mobil asal pabrikan AS, serta bea masuk sebesar 5% atas komponen mobil. AS pun merespons dengan mengumumkan pihaknya akan menaikkan bea masuk bagi US$ 250 miliar produk impor asal China, dari yang saat ini sebesar 25% menjadi 30%.

Sementara itu, bea masuk bagi produk impor asal China lainnya senilai US$ 300 miliar akan dinaikkan menjadi 15% dari rencana sebelumnya yang hanya sebesar 10%.

Namun, kedua negara segera sepakat menunda kenaikan tarif dan memulai kembali perundingan dagang AS-China pada 10-11 Oktober di Washington. Ini merupakan perundingan tingkat tinggi, delegasi China akan dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Liu He, sementara AS akan dikomandoi oleh Kepala Kantor Perwakilan Dagang Robert Lighthizer.

Dari sisi kebijakan moneter, The Fed dan BI seakan "berlomba" memangkas suku bunga. The Fed di bawah Jerome Powell memangkas suku bunga sebanyak dua kali, sementara BI di bawah Perry Warjiyo melakukan tiga kali pemangkasan beruntun.

Tetapi situasi yang dihadapi kali ini berbeda, The Fed memangkas suku bunga akibat pelambatan ekonomi sehingga diperlukan stimulus untuk kembali memacu roda perekonomian.

Sementara BI memangkas suku bunga karena memiliki ruang yang bisa dimanfaatkan dari terjaganya inflasi dan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Ruang tersebut dimanfaatkan BI untuk lebih memacu lagi perekonomian Indonesia.

Oleh karena itu, pemangkasan suku bunga yang dilakukan oleh BI cenderung membawa rupiah menguat, sebaliknya kebijakan The Fed memberikan tekanan bagi dolar AS.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

(pap/pap)

Let's block ads! (Why?)



from CNBC Indonesia https://ift.tt/2oBacVI
via IFTTT

No comments:

Post a Comment