Pada perdagangan hari Rabu (28/8/2019) pukul 09:30 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak pengiriman Oktober menguat 0,57% ke level US$ 59,85/barel.
Sementara harga minyak light sweet (West Texas Intermediate/WTI) naik 0,96% menjadi US$ 55,46/barel.
Di akhir sesi perdagangan hari sebelumnya (27/8/2019), harga Brent dan WTI melesat masing-masing sebesar 1,38% dan 2,4%.
Semalam, kelompok industri perminyakan, American Petroleum Institute (API) mengatakan bahwa stok minyak mentah AS untuk minggu yang berakhir pada 23 Agustus 2019 turun hingga 11,1 juta barel.
Angka penurunan tersebut jauh lebih dalam ketimbang ekspektasi analis yang dihimpun Reuters sebesar 2 juta barel.
Data resmi pemerintah AS akan dirilis pada malam hari nanti waktu Indonesia. Jika angka perkiraan API benar, makan akan menandakan penurunan stok paling dalam sejak 9 pekan lalu.
"Penurunan inventori [minyak mentah] yang besar, setidaknya untuk sementara waktu, dapat meredam kekhawatiran akan terjadinya resesi yang telah membayangi pasar minyak seperti awan kelabu," ujar Stephen Innes, direktur pelaksana Valour Markets, dikutip dari Reuters.
Memang, kekhawatiran akan terjadinya resesi kembali membuncah tadi malam.
Berdasarkan catatan CNBC International, pada perdagangan kemarin, inversi antara imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) tenor 2 dan 10 tahun kembali terjadi. Bahkan pada satu titik, yield obligasi tenor 2 tahun sempat lebih besar 5 basis poin (bps) dari tenor 10 tahun. Hal tersebut menandai inversi paling parah sejak tahun 2007.
Sebagai informasi, inversi merupakan fenomena di mana yield obligasi jangka pendek lebih tinggi dibanding jangka panjang. Oleh sebab itu, inversi menjadi indikator bahwa pelaku pasar saat ini melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek.
Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang sangat penting karena bisa menjadi indikator terjadinya resesi di masa depan. Resesi sendiri merupakan kondisi di mana ekonomi tumbuh negatif alias terkontraksi dalam dua kuartal beruntun di tahun yang sama.
Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.
Bila benar resesi terjadi, maka permintaan energi, yang salah satunya berasal dari minyak bumi juga akan tertekan.
Keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) akan menjadi berat ke sisi pasokan dan membebani harga.
TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/hps)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2KZay0W
via IFTTT
No comments:
Post a Comment