Baca: Wahai Para Menteri, Ini Ultimatum Terakhir Jokowi soal CAD!
Transaksi berjalan adalah pos di neraca pembayaran yang mencerminkan arus devisa dari ekspor barang dan jasa. Devisa dari transaksi berjalan dinilai lebih stabil, berjangka panjang, sehingga menjadi fondasi yang kokoh bagi stabilitas nilai tukar. Sejak 2011, transaksi berjalan Indonesia selalu defisit. Puncaknya (atau dasar jurangnya?) terjadi pada kuartal II-2014, di mana kala itu defisit mencapai 4,26% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Saat transaksi berjalan defisit, maka nilai tukar rupiah cenderung melemah. Terlihat sejak 2011 mata uang Tanah Air cenderung terdepresiasi di hadapan dolar Amerika Serikat.Baca: Bikin Gemetar, Ini Alasan CAD Bengkak di Atas 3% di Q2-2019
Ketika rupiah 'bergoyang', Bank Indonesia (BI) tentu tidak tinggal diam karena mandat bank sentral adalah menjaga kestabilan nilai tukar. Salah satu langkah yang ditempuh BI adalah menaikkan suku bunga acuan untuk memperlambat aktivitas ekonomi sehingga impor berkurang, transaksi berjalan terbantu, dan rupiah bisa lebih stabil. Namun ya itu tadi. Kebijakan BI menstabilkan nilai tukar dengan menaikkan suku bunga acuan punya efek samping yaitu perlambatan ekonomi. Memang serba salah.Dengan kondisi Indonesia saat ini, upaya menggenjot pertumbuhan ekonomi pasti menyebabkan impor membengkak. Sebab industri dalam negeri belum mampu menyediakan bahan baku dan barang modal untuk menampung kenaikan permintaan. Mau tidak mau, suka tidak suka, ya harus impor.
Akan tetapi kalau impor terus, defisit transaksi berjalan yang semakin parah. Rupiah melemah, dan BI terpaksa 'turun gunung'. Kalau BI sudah beraksi dengan menaikkan suku bunga acuan, maka laju ekonomi melambat. Serba salah kan...?(BERLANJUT KE HALAMAN 2) (aji/aji)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/32brgjL
via IFTTT
No comments:
Post a Comment