Pada perdagangan hari Rabu (28/8/2019) pukul 08:30 WIB, harga emas kontrak pengiriman Desember di bursa New York Commodities Exchange (COMEX) menguat 0,09% ke level US$ 1.553,8/troy ounce (Rp 699.459/gram).
Adapun harga emas di pasar spot stagnan di posisi US$ 1.542,4/troy ounce (Rp 694.327/gram).
Di sesi perdagangan kemarin (27/8/2019), harga emas COMEX dan spot ditutup melesat masing-masing sebesar 0,99% dan 1,07%.
Berdasarkan catatan CNBC International, pada perdagangan kemarin, inversi antara imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) tenor 2 dan 10 tahun kembali terjadi. Bahkan pada satu titik, yield obligasi tenor 2 tahun sempat lebih besar 5 basis poin (bps) dari tenor 10 tahun. Hal tersebut menandai inversi paling parah sejak tahun 2007.
Sebagai informasi, inversi merupakan fenomena di mana yield obligasi jangka pendek lebih tinggi dibanding jangka panjang. Oleh sebab itu, inversi menjadi indikator bahwa pelaku pasar saat ini melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek.
Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang sangat penting karena bisa menjadi indikator terjadinya resesi di masa depan. Resesi sendiri merupakan kondisi di mana ekonomi tumbuh negatif alias terkontraksi dalam dua kuartal beruntun di tahun yang sama.
Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.
Penguatan sinyal-sinyal datangnya resesi bukan tanpa alasan.
Perang dagang AS-China yang berisiko kembali tereskalasi diduga kuat menjadi dalang utamanya.
Kemarin, China kembali mengungkapkan kekecewaan terhadap keputusan AS yang menetapkan bea masuk lebih tinggi bagi produk asal China.
"Sangat disayangkan bahwa AS telah lebih lanjut menaikkan bea masuk bagi produk ekspor China ke AS. Tekanan yang ekstrim ini benar-benar berbahaya bagi kedua belah pihak dan sama sekali tidak konstruktif," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang, dilansir dari CNBC International.
Sebagai informasi, akhir pekan lalu (23/8/2019) China mengumumkan rencana peningkatan bea masuk sebesar 5-10% atas produk impor asal AS senilai US$ 75 miliar. Bea masuk ini mulai berlaku efektif dalam dua waktu, yaitu 1 September dan 15 Desember 2019.
Negeri Tirai Bambu juga akan kembali mengenakan bea masuk 25% terhadap mobil-mobil pabrikan AS, serta bea masuk 5% untuk komponennya mulai 15 Desember nanti.
Langkah tersebut diambil sebagai balasan atas rencana Trump untuk mengenakan bea masuk 10% terhadap produk China senilai US$ 300 miliar yang diumumkan awal bulan ini.
Namun selanjutnya Trump kembali bereaksi atas keputusan China. Trump melempar serangan balasan berupa kenaikan bea masuk produk China senilai US$ 250 miliar menjadi 30% (dari yang semula 25%) mulai 1 Oktober mendatang.
Sementara itu, bea masuk bagi produk impor asal China lainnya senilai US$ 300 miliar yang akan mulai berlaku pada 1 September (ada beberapa produk yang pengenaan bea masuknya diundur hingga 15 Desember), akan dinaikkan menjadi 15% dari rencana sebelumnya yang hanya sebesar 10%.
Jika perang dagang terus berlarut-larut bahkan tereskalasi lebih jauh, maka skenario resesi hanya tinggal menunggu waktu.
Alhasil investor banyak mengalihkan hartanya ke bentuk emas untuk menghindari kerugian yang masif.
(asumsi kurs US$ 1=Rp 14.000)
TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/taa)
from CNBC Indonesia https://ift.tt/2Zvj4sT
via IFTTT
No comments:
Post a Comment